Papua, No More Doubt

Papua, Negeri Mutiara Hitam, sebutan khas Propinsi di wilayah paling timur Indonesia ini memiliki pesona alam keindahan dan kebudayaan tradisional yang tak ternilai. Kehidupan masyarakat yang beragam antara pendatang dan masyarakat asli hidup berdampingan menjalankan roda perekonomian Papua secara bersama-sama. Keberagaman merupakan ciri kebersamaan hidup tolerasi Papua antar sesama sebagai mahluk Tuhan. Oleh karenanya, semua kalangan menjaga keharmonisan kedamaian kehidupan masyarakat Papua agar tidak terpancing kabar-kabar menyesatkan yang tidak jelas. Kedamaian kasih Tuhan yang ada di bumi Papua sudah selayaknya dijaga keharmonisannya antara manusia dan alam, serta manusia dengan manusia. Jangan ada lagi pertentangan, permusuhan, dan saling curiga mencurigai. Hilangkanlah perbedaan, jadikanlah perbedaan sebagai anugrah Tuhan untuk mengasihi dan berbagi sesama hamba-Nya. Hanya orang-orang tidak bertanggung jawab yang menginginkan Papua tidak damai, belum tentu juga yang “mengaku” atas nama masyarakat Papua berkorban demi Papua, padahal faktanya hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya, serta ketidaktulusan berkorban mewarnai lika-liku di Papua. Pengalaman sejarah membuktikan banyak kepentingan (interest) yang ‘mengaku’ mewakili masyarakat asli Papua, tetapi demi sekedar mendapatkan Dollar, Poundsterling maupun Rupiah. Jadi, sepatutnya masyarakat Papua berpikir lebih dewasa dengan tidak ‘larut’ dalam bujuk rayu sesat ‘atas nama’ Papua.

Ironis apabila kehidupan damai Papua diusik oleh sekelompok orang yang berusaha  menolak keberadaan Propinsi Papua sebagai bagian sah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), didasarkan pada resolusi PBB No. 2504 Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV), tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai New Guinea Barat (Irian Barat) pada 19 November 1969 yang menyatakan Irian Barat (Papua) merupakan bagian integral dari Indonesia serta ditandai dengan adanya UU No. 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat. Dengan demikian, integrasi Papua sudah selesai dan final. Sejarah mencatat, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah Irian Barat kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963 dan setelah tanggal tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB. Bagi rakyat Papua, proses integrasi dan keberadaan Papua ke dalam pangkuan Indonesia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa melalui cara dan prosedur yang sah dan demokratis serta sudah diterima oleh masyarakat internasional, sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Papua. Disinilah perlu diluruskan dan dipahami bahwa “No More Doubt” apapun alasannya, terlebih masalah historical background Papua.

Di masa pendudukan Belanda di Papua, tanggal 1 Desember 1961 yang terjadi bukanlah pemberian kemerdekaan bagi rakyat Papua, tetapi pada tanggal tersebut adalah pembentukan Dewan New Guinea oleh Belanda. Situasi kondisi Papua pada saat itu merupakan hasil rekayasa pemerintah kolonial Belanda dengan cara tipu-tipu memberikan gula-gula kepada masyarakat Papua dan sudah pasti bukan kemerdekaan yang diberikan.

Dalam pendirian suatu negara merdeka perlu adanya pengakuan dan persyaratan secara De Facto dan De Jure.Klaim bahwa Papua telah merdeka sejak 1 Desember 1961 yang ditandai adanya pengibaran bendera Bintang Kejora tidak dapat dijadikan acuan bahwa pemerintah kolonial Belanda telah memberikan kemerdekaan sebagai suatu negara yang sudah merdeka.

Sebuah negara merdeka perlu adanya pengakuan Internasional dari negara-negara di dunia termasuk dari PBB. Selain itu, tidak adanya Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat dan juga tidak ada Undang-Undang Dasar Proklamasi Papua Barat (UUD PB) membuktikan Papua bukanlah sebuah negara. Sebaliknya, Pepera 1969 menunjukkan legalitas yang sah diakui oleh PBB dan dunia Internasional sebagai fakta hukum yang tidak terbantahkan bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Pepera 1969 sebagai cermin rakyat papua yang berkeinginan bergabung dengan Indonesia.

Perbedaan pendapat mengenai Pepera tahun 1969 menyangkut one man van vote sebagai pelaksanaan butir New York Agreement pada 15 Agustus 1962, tidak perlu dipermasalahkan karena hal itu sudah menjadi kesepakatan antar kedua belah pihak yakni pihak Indonesia dan Belanda atas persetujuan PBB bahwa kendala geografis dan demografis untuk one man one vote tidak dapat dilaksanakan, sehingga kedua pihak sepakat melaksanakan Pepera menggunakan sistem perwakilan. Tanah adat Papua yang  dikuasai oleh tokoh-tokoh adat sehingga tokoh adatlah yang diundang dalam Pepera menentukan arah sikap mereka pada saat itu. Pelaksanaan Pepera sendiri berada dalam pengawasan PBB dengan mengutus Mr. Ortizan sebagai utusan untuk memantau dan dalam laporannya dijelaskan bahwa tidak ada rekayasa apapun selama pelaksanaan Pepera berlangsung serta hasil tersebut diserahkan kepada U Than,Sekjen PBB pada waktu itu. Dan pada 2 Agustus 19 Nopember 1969 hasil Pepera dibahas dalam PBB dan kemudian diketuk palu bahwa Irian Barat (Papua) adalah bagian dari Indonesia.

Mengutip pendapat Akihisa Matsuno, seorang Professor di Sekolah Internasional Osaka Kebijakan Publik, yang mengkhususkan diri tentang Indonesia, menyatakan secara historis, PBB mengakui penggabungan Papua Barat ke Indonesia, itu adalah noda pada catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan masalah tersebut kembali dalam agenda politik di PBB karena semua orang merasa bersalah. Jelas sekali bahwa Professor Matsuno menyadari betul bahwa mulai dari masa kolonialisme dan pembagian wilayah jajahan hingga masa akhir perang dunia ke dua telah menjadi kesepakatan Internasional bahwa Papua Barat merupakan bagian dari NKRI. Hal tersbut juga telah diakui oleh dunia internasional bahwasannya Papua dan Papua Barat adalah bagian integrasi yang tidak terpisahkan dalam Republik Indonesia. Tidak ada kata “Salah” dalam sejarah !

Kesanksian Perjuangan “atas nama” rakyat Papua versi bualan Herman Wainggai dan Benny Wenda

Benny Wenda, seorang Red Notice Interpol dan narapida (napi) Papua yang melarikan diri dari penjara Abepura, Papua, Indonesia dan pergi ke Inggris sebagai asylum seeker hingga melakukan kampanye pergerakan untuk Papua merdeka dan kemudian melakukan berbagai kampanye menyuarakan Papua merdeka, dimulai dengan pembentukan International Parliamentary for West Papua (IPWP) di Inggris hingga International Lawyers for West Papua (ILWP) di Guyana. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar-benar IPWP tersebut mendapat dukungan dari pemerintah Inggris atau dia hanya ingin menjualnya sebagai pancingan untuk ‘berburu’ pounsterling belaka yang tentunya lebih banyak daripada rupiah di Papua dan pada akhirnya ingin meraih kekuasaan ? (seperti yang dia ungkapkan dalam blog-nya, memproklamirkan sebagai “calon pemimpin Papua masa depan”). Maka, tak lain bahwa Benny Wenda hanya memainkan ‘bisnis’ pounsterling dengan mengatasnamakan rakyat Papua.

Sepak terjang IPWP dalam kegiatannya mulai dari pendeklarasian dengan meminta dukungan anggota parlemen Inggris hingga seruan aksi kampanye menyuarakan Papua merdeka kepada rakyat Papua, bisa dikatakan berbuah kosong belaka.  Kenyataannya, IPWP tidak mencerminkan sikap parlemen Inggris yang terdiri dari 646 anggota House of Commons dan 746 anggota House of Lords. Lebih jauh lagi, IPWP tidak signifikan secara politik karena tidak mencerminkan sikap pemerintah Inggris. Adapun sikap pemerintah Inggris tidak merencanakan untuk mengangkat masalah Papua di forum Dewan Keamanan PBB karena Inggris percaya bahwa pelaksanaan UU Otonomi Khusus (Otsus) secara penuh adalah jalan terbaik untuk penyelesaian masalah perbedaan internal dan stabilitas jangka panjang Papua secara berkelanjutan. Pemerintah Inggris mengakui bahwa terdapat banyak perdebatan pada Pepera 1969, tetapi hasil Pepera 1969 sudah diterima oleh PBB pada saat itu dan sejak itu tidak ada lagi keraguan internasional bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Terlebih sikap Benny Wenda menganggap dirinya ‘berhasil’ dalam diplomasi internasional dengan mengabaikan dan menganggap tokoh pergerakan lainnya seperti Jacob Rumbiak, Andi Ayamiseba, Nicolas Jouwe, Franzalberth Joku, Nick Messet, Oridek Ap, John Ondowame, dsb tidak berhasil di luar negeri, menunjukkan keangkuhan, egoisme, dan haus akan kekuasaan dengan merendahkan tokoh lainnya. Dengan demikian, kesanksian muncul dan tepat ditujukan kepada Benny Wenda. Seorang pemimpin sejati tidak saling menghujat antara tokoh satu dengan yang lain. Pemimpin sejati harus dapat merangkul semua gololongan dan bukan memunculkan perpecahan diantara sesama tokoh pergerakan.

Lain halnya ‘pepesan kosong’ yang ditawarkan Herman Wainggai melalui asylum seeker kepada orang Papua, dimulai pada bulan Januari 2006, berlayar dari Merauke dengan tujuan Australia, tetapi tersesat di Selat Torres Australia, dan ditemukan oleh Aparat Keamanan Australia di kawasan Cape York, mereka lalu diterbangkan dengan pesawat militer pada Kamis malam ke Christmas Island, sebuah pulau di kawasan Samudera Hindia di wilayah Australia. Sebanyak 43 orang masyarakat Papua tersebut menurut kesaksian beberapa pencari suaka yang sudah kembali ke Papua, menilai bahwa kehidupan mereka tak lebih dari yang dibayangkan sebelumnya. Ketidakjelasan nasib asylum seeker hanya ‘dimanfaatkan’ Herman Wainggai cs demi mengatasnamakan rakyat Papua, namun yang terjadi sebaliknya. Kenyataannya, dari ke-43 para pencari suaka tersebut diminta membayar Rp. 7 Juta dengan tidak adanya jaminan kesejahteraan di negeri orang.  Pengakuan para pencari suaka yang telah kembali ke Papua, Indonesia, seperti Hanna Gobay, Yunus Wainggai, dan  Jubel Karemi meyakinkan bahwa Herman tidak lebih seorang pembohong besar yang atas nama “asylum seeker”. Ex-korban pencari suaka yang kembali menjelaskan justru kehidupan mereka di negeri pengasingan tidak lebih dari rasa ketakutan dikejar-kejar pihak imigrasi setempat, serta kebutuhan pangan, sandang dan papan yang tidak tercukupi, berbeda dengan bujukan manis Herman saat sebelum ke Australia dengan menjanjikan sesuatunya serba kecukupan.

Sama halnya dengan Benny Wenda di Inggris dengan IPWP dan ILWP, Herman Wainggai juga ‘mengemis’  dollar Australia melalui wadah West Papua National Authority (WPNA) di Australia. WPNA hanya tempat ‘kumpul-kumpul’ bagi yang minat dan simpati bagi perjuangan masyarakat Papua, fakta di lapangan tidak seperti yang dibesar-besarkan melalui media internet. Hanya segelintir orang yang partisipasi dalam WPNA, tidak lebih hanya rasa solidaritas dan tidak mendukung perjuangan mereka di Melbourne, Australia. Kebohongan terus berlanjut dengan isu Washington Solution sebagai kegiatan yang ‘katanya’ diselenggarakan  di White House dan  masuk dalam protokol kerja White House seperti yang dikampanyekan di tanah kelahirannya, Papua. Namun, ternyata dilaksanakan di Universitas Mason dan hasil yang dicapai pun tidak berarti. Jelas sudah sebuah kebohongan publik dilontarkan Herman kepada masyarakat Papua, maka itu gerakan dirinya selama ini tidak mencerminkan aspirasi rakyat Papua dan bersifat retorika semata. Gerakan-gerakan yang dilakukan Herman yang diakuinya sebagai perjuangan dirinya tidak lebih sebatas “mendompleng” kegiatan lain, dengan kata lain tidak murni yang diperjuangkan.  Itupun berdasarkan teman-teman mahasiswa Indonesia di Melbourne menceritakan  jika Herman hidupnya tidak jelas dan tergantung pada hasil “mengemis” atas nama rakyat Papua. Dollar demi dollar dikumpulkan demi menyambung hidup dan bukan niatan pergerakan yang selama ini ia dengungkan. Kalaupun ada kalangan LSM yang simpati, hanya sekedar dukungan karena aktivis akan tetapi tidak terus mendapat dukungan sepenuhnya dalam aksi-aksi maupun loby-loby yang Herman lakukan, aktivis di Melbourne tidak terlalu menghiraukan “twiit/kicauan”nya.  Jadi, jelas dirinya a truely big liar for West Papua.

Otsus untuk kesejahteraan rakyat Papua

Pemerintah pusat concern terhadap propinsi paling timur Indonesia itu, melalui UU No 21 Tahun 2001, dengan melakukan kebijkan pemberian Otonomi Khusus dan mendrop dana ke daerah (Papua), tetapi dana tersebut turunnya menetes sedikit demi sedikit ke masyarakat, oleh karenanya gubernur harus bertindak tegas terhadap aparatnya yang tidak benar. Alangkah lebih arif dan bijak apabila selaku masyarakat Papua tidak “menguras” energi mereka dengan “mengobok-obok” masa lalu yang berkutak pada politik yang hanya berakibat melencengnya cita-cita murni rakyat Papua dalam membangun Papua, karena hal yang terpenting sekarang adalah bagaimana memaksimalkan apa yang telah diberikan pemerintah Indonesia untuk mensejahterakan masyarakat Papua. Otsus tersebut merupakan jawaban atas keseriusan pemerintah terhadap Papua.

Tidak ada yang salah dengan Otsus, tetapi dari masyarakat Papua sendiri yang meributkannya serta banyak menghabiskan energi dengan saling menyalahkan satu sama lain, dan bukan saling mendukung dalam mengawal Otsus tersebut. Koordinasi perlu dilakukan di tingkat pemerintah Provinsi Papua dengan jajaran di bawahnya agar tidak terjadi miss understanding di dalam pelaksanaan pembangunan di Papua khususnya implementasi UU Otsus.

Leave a comment

No comments yet.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment