Status Politik Papua Sudah Final

pilkadapapua aman

Papua merupakan pulau yang kaya akan kekayaan alam dan keragaman budaya, yang tidak terpisahkan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sejarah masuknya Irian Barat (Papua) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah benar, sehingga Papua bagian NKRI sudah final, dan tidak perlu dipertanyakan dan diutak-atik lagi, seperti pendapat Tokoh Pejuang Papua, bapa Ramses Ohee bahwa proses masuknya Papua dalam NKRI sudah melalui cara yang benar dan diakui dunia internasional. Bila ada sejumlah kalangan yang masih mempersoalkan sejarah masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang telah ditetapkan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 silam, berarti mereka tidak tahu proses sejarah tersebut. Bapa Ramses Ohee menilai ada pihak-pihak yang sengaja membelokkan sejarah Papua untuk memelihara konflik di Tanah Papua. Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI sudah benar, hanya saja dibelokkan sejumlah warga tertentu yang kebanyakan generasi muda.
Berbagai cara untuk mempengaruhi rakyat Papua menolak keabsahan Papua bagian dari NKRI untuk kepentingan kelompoknya terus dilakukan oleh sekelompok orang seperti Komite Nasional Papua Barat atau niasa dikenal dengan KNPB yang mengklaim bahwa sidang umum PBB tahun ini akan membahas tentang status politik Papua, sehingga mereka melakukan aksi untuk mendukung kegiatan tersebut. Namun faktanya seperti hal sebelumnya itu merupakan upaya pembohongan public semata. Sidang PBB tidak pernah membahas tentang status politik Papua, karena PBB telah mengesahkan Papua bagian dari Indonesia sesuai dengan pelaksanaan PEPERA sudah memiliki landasan hukum, yakni Resolusi PBB No. 2504 yang dikeluarkan Majelis Umumn PBB tanggal 19 Nopember 1969. Resolusi ini diusulkan oleh 6 negara dan diterima oleh Majelis Umum PBB dengan imbangan suara 84 setuju, tidak ada yang menentang dan 30 abstein. Dengan tidak dipermasalahkan PEPERA oleh Negara manapun menunjukan bahwa, Pepera diterima oleh masyarakat internasional. Artinya, Papua sebagai bagian dari NKRI telah diakui oleh masyarakat internasional.
Lebih lanjut Tokoh Papua Ramses Ohee menjelaskan, fakta sejarah menunjukkan keinginan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia sudah muncul sejak pelaksanaan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Sayangnya, masih ada yang beranggapan bahwa Sumpa h Pemuda tidak dihadiri pemuda Papua. Ini keliru, karena justru sebaliknya, para pemuda Papua hadir dan berikrar bersama pemuda dari daerah lainnya. Ayah saya, Poreu Ohee adalah salah satu pemuda Papua yang hadir pada saat itu. Adapun mengenai pihak-pihak yang memutarbalikkan sejarah dan masih menyangkal kenyataan integrasi Papua ke dalam NKRI, pihaknya tidak menyalahkan mereka karena minimnya pemahaman atas hal tersebut. Hal yang perlu disadari adalah bahwa keberadaan negara merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga seharusnya disyukuri dengan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan di Papua.
Berdasarkan catatan sejarah, pada 1 Oktober 1962 pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah ini kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga 1 Mei 1963. Setelah tanggal tersebut, bendera Belanda diturunkan dan diganti bendera Merah Putih dan bendera PBB. Selanjutnya, PBB merancang suatu kesepakatan yang dikenal dengan New York Agreement untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat Irian Barat melakukan jajak pendapat melalui Pepera pada 1969 yang diwakili 175 orang sebagai utusan dari delapan kabupaten pada masa itu. Hasil Pepera menunjukkan rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia.
Salah seorang mantan pemimpin Papua Merdeka Nicholas Jouwe yang telah kembali ke NKRI karena kesadarannya menyatakan kepada semua pihak khususnya masyarakat Papua untuk mendukung pembangunan Papua, dan jangan mempersoalkan masa lalu, karena masuknya Papua dalam NKRI sudah final, dan tidak bisa diganggu gugat. Papua bagian sah Indonesia.

Papua Sebuah Ironi, Pejabat Daerah Diduga Menghambat Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

Kegiatan Masyarakat Papua berjalan dengan normal

Kegiatan Masyarakat Papua berjalan dengan normal

Papua adalah sebuah ironi. Provinsi yang dapat dibilang berlimpah ruah sumber daya alamnya, Freeport, tambang emas dan tembaga terbesar di dunia ada disini. Papua juga memiliki Tangguh, lapangan gas terbesar di dunia. Namun mayoritas rakyatnya masih bergelut dengan kemiskinan. Tak heran bila akibat carut-marutnya pengelolaan anggaran tersebut, tak sedikit pejabat di wilayah Papua harus meringkuk merasakan jeruji besi. Ada proyek-proyek fiktif, penggelumbungan nilai proyek, belanja yang menyimpang dari peruntukkan, atau pembelian aset yang tidak sesuai dengan aturan. Bahkan, ada proyek yang direkayasa, yakni bupati mencairkan dana untuk keperluan tidak jelas, baru laporan pertanggungjawaban dikarang-karang.
Pada 2001, pemerintah meningkatkan status Papua sebagai daerah Otonomi Khusus (Otsus). Sejak tahun 2002 hingga 2009, pemerintah pusat telah menggelontorkan lebih dari Rp. 20 Trilyun untuk dana otsus Papua. Namun dana-dana-dana itu sebagian besar tidak digunakan untuk menyejahterakan rakyat, bahkan banyak yang dikorupsi.
Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2004-2009 dalam pemeriksaan Dana Otsus sebesar Rp. 3,7 Trilyun, terdapat penyimpangan sebesar Rp. 578 Milyar atau 16 %. Sekitar 70 % dari temuan tersebut berupa pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan tidak sesuai peruntukkan. Selain dugaan penyelewengan dana otsus, tidak menutup kemungkinan dana APBD juga disalahgunakan oleh pejabat daerah. Salah satu bentuk dugaan korupsi yang dilakukan salah pejabat daerah di Papua yaitu Bendaharawan Non Dikda, Setda Popinsi Papua, Marthen Sarwom, yakni laporan keuangan pada Sekretariat Daerah Pemprop Papua Non Dikda dalam Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Papua Tahun Anggaran 2003, dimana terdapat beberapa kejanggalan yang mengarah kepada indikasi korupsi diantaranya :
• Pada Tahun Anggaran 2003, Pemerintah Propinsi Papua telah menggunakan mata anggaran pada pos : Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain, dengan kode anggaran 2.14.1. dengan anggaran sebesar Rp. 222.006.029.000,- direalisasikan sebesar Rp. 220.632.400.895,- (Laporan Pertanggungjawaban Gubernur Papua Tahun Anggaran 2003) diperuntukkan untuk : bantuan kepada Instansi Vertikal Dalam Negeri, bantuan kepada Instansi Vertikal Lainnya, bantuan Partai Politik, bantuan kepada Organisasi Profesi dan bantuan kepada Organisasi Sosial.
• Dari realisasi sebesar Rp. 220.632.400.895,- tersebut dan berdasarkan bukti akumulasi nominal yang tercantum pada 228 Lembar Kuitansi pembayaran, dimana didalamnya terdapat beberapa kejanggalan yang mengindikasikan adanya manipulasi dengan jumlah Rp. 18.865.000.000,-. Adapun kisaran nominal dari tiap bantuan mulai Rp. 20 juta s/d Rp. 136 juta.
• Lembar disposisi diketik secara baku berisi instruksi dari Sekda kepada Bendahara Non Dikda untuk memberikan bantuan dana dalam jumlah tertentu kepada Organisasi, Sosial, Profesi, dan perorangan.
• Tanda tangan Sekda palsu karena Drs. D. Asmuruf sudah diberhentikan sebagai Sekda.
• Penerima dana seluruhnya adalah orang-orang dekat Gubernur Papua seperti, antara lain Hengky Wonantoray (Sekpri Gubernur), Elly F. Auri, Suwoyo, Drs. Calvin Horik, Carolus Yermogin SE, Yudi Indrajaya (Staf Gubernur) dan Daniel Daat (Ketua Komisi C DPRD Papua), kesemuanya tanpa identitas lengkap yang berkaitan dengan organisasi sosial maupun profesi penerima bantuan, bahkan ada yang hanya tanda tangan saja.
• Sedangkan pejabat Sekretaris Daerah, Asmuruf, yang sudah meninggal, maka tidak bisa dipertanggungjawabkan lagi.
Melihat data-data yang ada di atas, Marthen Sarwom yang diduga telah melakukan manipulasi penggunaan dana dan membuat dokumen pertanggungjawaban (kuitansi) yang tidak sesuai dengan tertib administrasi yang dipersyaratkan dan tidak sesuai dengan jumlah dana yang dialokasikan sesuai peruntukannya. Bukti lain didasarkan keterangan pihak yang bertandatangan sebagai penerima (antara lain Suwoyo) menyatakan yang bersangkutan hanya sekedar menandatangani, namun tidak menerima dan atau menyalurkan uang/dana bantuan yang diperuntukkan kepada pihak penerima sebagaimana tercantum dalam kuintasi.
Dalam kaitan ini, para pihak yang bertanggungjawab dalam penggunaan dana serta penerbitan kuitansi tersebut adalah Drs. D. Asmuruf (selaku Sekretaris Daerah Pemprop Papua) dan Marthen Sarwom (selaku Bendaharawan Non Dikda). Namun karena Drs. D. Asmuruf telah meninggal, kepada yang bersangkutan tidak dapat dimintai keterangan dan pertanggungjawaban secara hukum. Sedangkan terhadap Marthen Sarwom, dapat dimintai keterangan dan pertanggungjawaban secara hukum terkait indikasi adanya manipulasi dan tindak pidana korupsi penggunaan dana mata anggaran Pemerintah Propinsi Papua Tahun Anggaran 2003, pada pos : “Pengeluaran Yang Tidak Termasuk Bagian Lain”.
Realitas di atas merupakan salah satu bagian dari praktek-praktek korupsi di Papua yang masih harus dilakukan pemeriksaan oleh instansi terkait seperti KPK. Semua pejabat, baik pusat maupun daerah, yang menyelewengkan dana rakyat tersebut harus diseret ke meja hijau tanpa terkecuali. Penegakan hukum terhadap koruptor harus tetap terus dilakukan di Tanah Papua, demi kesejahteraan rakyat Papua.